23 September 2019

Pekik

Asap memaki napas
Jerebu menusuk mata
Suara pekikan rakyat
Terbungkam kekuasaan
Meraung tersandung
Mencicit mengemis pembebasan
Kemana birunya langit?

Entah, apakah langit juga berkabung?
Yang kulihat ia hanya berselimut
Putih
Perih
Pedih

Rakyat merakit harap
Pada penguasa dusta
Sia-sia

Manusia melahap asap
Hingga kantung napas tercekik
Terseok terjerumus
Pada gerbang tutup usia

6 Juli 2019

Menjadi Guru Sekolah Dasar Menyenangkan?

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Apa kabar teman-temanku? Semoga baik-baik saja ya? Akupun baik-baik saja, sungguh. Hanya sedikit dipenuhi rasa malas seperti biasa. Hahahaha

Tidak ingat kapan terakhir aku buka blogku ini, sampai-sampai waktu aku membukanya tadi aku menemukan banyak hewan-hewan berterbangan, merayap, dan mencicit. Seperti pertama kali membuka rumah tua yang ditinggalkan tuannya puluhan tahun lamanya. Dari beberapa minggu lalu niat untuk mencoba membuat coretan-coretan lagi terus mendorong pergi rasa malasku. Namun, rasa malas yang terus aku beri makan semakin kuat, sehingga niat itu harus aku bulatkan sebulat-bulatnya.

Aku tidak tahu apa yang ingin aku tulis dan bagaimana memulainya. Tapi dari awal aku sudah memutuskan judulnya "Menjadi Guru Sekolah Dasar Menyenangkan?" Bagaimana isinya, kita lihat sejauh mana otak ini memerintahkan tanganku memencet keyboard. Cekidot!

Ini baru tahun keduaku menjadi seorang guru sekolah dasar. Awalnya aku merasa begitu berat memikirkannya. Aku suka anak kecil, sangat suka. Namun, mendidik dan bermain dengan anak kecil merupakan dua hal yang berbeda.

Sebelum studiku selesai, sekitar November atau Oktober 2017 aku mendapatkan tawaran untuk mengajar di salah satu SMP Swasta di Palembang. Mengajar sesuai dengan bidangku. Itu adalah pertama kali aku terjun sebagai seorang guru (Bukan sebagai mahasiswa PPL). Jelas berbeda.

Bagi teman-teman yang mengenalku pasti tau bagaimana aku yang mungil ini dihadapkan dengan anak SMP yang secara fisik tidak banyak berbeda denganku. Bagi guru muda sepertiku pasti pernah merasakan bagaimana digoda dan dirayu anak muridnya (mengingatnya membuatku geleng-geleng kepala). Tapi, aku mempunyai kebiasaan (aku baru sadar belakangan ternyata ini menjadi kebiasaanku), adalah membuat kesan pertama mereka padaku seperti "Ibu itu galak". Ya, untuk beberapa hal itu berhasil. Aku mempunyai rules dikelasku. Mau bagaimanapun prosesnya asal aturan itu diterapkan "galak" itu bisa berubah menjadi "menyenangkan" (Semoga, hahahah). Itu hanya bertahan hingga akhir tahun. Pada Januari 2018 aku mendapat tawaran lain, mengajar di sekolahku dulu, tempat dimana aku dibesarkan selama 6 tahun sekolahku yang bahkan hanya 5 langkah jaraknya dari rumahku.

Ya, disinilah aku sekarang. Menjadi guru Sekolah Dasar. Jika ditanya seberapa nyaman, aku sangat nyaman disini sebab mayoritas guru-gurunya adalah guruku dulu sewaktu sekolah. Aku seperti seorang anak yang disambut pulang ke rumah. Hanya beberapa hal menjadi sangat berbeda. Jika sewaktu mengajar SMP, aku hanya mengisi 1 mata pelajaran sesuai bidangku, namun di sini, aku harus menjadi wali kelas, memberi materi semua pelajaran kecuali PAI dan PJOK (PR pertama). Untungnya, sungguh alhamdulillah aku tipe orang yang mau dan suka belajar apapun. Aku lalui itu dengan aman, dengan harapan semoga ilmu dariku tidak menyesatkan mereka (aku juga masih dan terus belajar).

Terlepas dari pelajaran, aku dihadapkan dengan kelas lebih dari 30 anak dengan sifat, latar belakang, kemampuan yang berbeda-beda (PR kedua). Ini lebih sulit dari sekedar memberi materi. Untuk masalah kelas, aku sudah cerita bahwa aku punya aturan kelasku sendiri jadi itu tidak menjadi masalah sebab alhamdulillah mereka mendengarkanku, mengikuti aturanku. Justru yang menjadi masalah adalah ketika aku dihadapkan dengan beberapa siswa yang "sedikit bermasalah", berusaha mencari jalan keluar dengan mencoba berkonsultasi dengan orang tua mereka, aku masih menemukan orang tua yang tidak peduli dengan anak mereka sendiri. Tidak semua orang tua seperti itu, namun ada beberapa orang tua yang seakan "Ya, anak saya memang nakal. Biarkan saja", atau "Ya, dia memang seperti itu, mau bagaimana lagi". Disitu Mamak bingung, sungguh. Jadi buat para orang tua harus sadar bahwa anak tidak cukup hanya dengan sekolah. Orang tua punya 5,6,7 anak di rumah? Sedangkan kami 30 lebih untuk satu kelasnya. Mohon kerja samanya demi kebaikan anak-anak kita.

Kemudian, aku masih harus belajar bagaimana siswa di kelas belajar dengan menyenangkan (PR ketiga). Kadang aku merasa begitu monoton dikelas. Belum mampu memahami kebutuhan anak-anak seusia mereka. Apa dan bagaimana kebutuhan mereka aku masih belum mampu memberi yang terbaik. Ketika melakukan games di kelas, beberapa belum nalar. Mereka belum sampai untuk permainan itu sehingga aku memikirkan ice breaking yang seperti apa yang tepat untuk mereka (Anak usia 3 SD). Ah, Mamak sedih di sini.

                                                                         ***

Terlepas dari itu semua, menjadi guru Sekolah Dasar begitu menyenangkan. Bertemu dengan anak-anak setiap hari, mendengar mereka memanggilku "Ibu", saat turun dari motor anak-anak menyerbu, berebut untuk bersalaman, melihat tumbuh kembang mereka, melihat progres kemampuan mereka, mendengar meraka mengadu "Ibu... hari ini saya seperti ini, Ibu... hari ini dia nakal" dan lain-lain. Dan hal paling menyenangkan adalah ketika aku melihat langsung perubahan positif yang dialami mereka, mereka yang mulai berani untuk tampil, berani untuk bertanya, berani untuk menyingkirkan rasa nakal mereka untuk memperhatikan gurunya.

23 Februari 2019

Aku Pernah Salah


Aku Pernah Salah




Aku pernah menempatkan diriku pada sebuah kesalahan
jalan yang kulalui salah
namun, aku pernah bertahan lama dalam kesalahan itu.

Ya, saat itu adalah ketika aku
menaruh hatiku pada seseorang
saat itu aku meyakini bahwa hanya pada dia
akan ku letakkan hati ini.

Benar itu sebuah kesalahan,
sebab aku lupa siapa pemilik diri ini
aku lupa bahwa tidak ada yang layak dicintai
selain Dia yang mencintaiku dengan sempurna.

Seketika Dia cemburu pada cinta salah yang kujalani
maka Dia merenggut semua perasaan itu,
menghempasku pada sebuah rasa sakit yang begitu membekas.
sebuah kehilangan.

Terisak aku dihadapan-Nya
tanpa rasa malu
menyalahkan takdir mengapa ini terjadi kepadaku.

Di satu malam yang dingin,
aku tersadar
bahwa tidak ada yang benar-benar menjadi milikku
bahkan aku tidak pernah memiliki apapun.

Semua kejadian yang telah aku lalui hanya sebuah kesalahan
kesalahanku yang telah meletakkan hati lebih pada makhluk
bukan kepada-Nya yang memiliki diri ini
bukan kepada-Nya yang mencintai diri ini dengan sempurna.

29 Agustus 2018

Sekolah, Rumah, dan Jalanan: Generasi Penerus Bangsa




Hai…
Ini masih pagi, saat aku menulis ini waktu di laptopku menunjukkan angka 07.30 WIB. Masih begitu pagi untuk sadar dan bangun dari tidur. Tapi tidak juga seperti itu sih, sedari subuh aku dah bangun, mengerjakan hal yang seharusnya dan melanjutkan ‘lemburan’ semalam. Sejak lulus SMA pekerjaanku tidak jauh dari laptop, selalu berhadapan dengan laptop dan orang-orang banyak. Mau tau selengkapnya tentang aku? Cek di bio ya, ato hubungi nomor ini +62 853xxxxxxxx . Hehehe, ga ding. Poinnya bukan itu, pagi ini aku mau coba menanggapi balasan salah satu follower instagram aku mengenai pertanyaanku “Kalian ingin aku menulis tentang apa, sih?” yang aku post di snapgram kemarin. Oya, akun ig aku @drainaaa sama seperti nama blog ini. Xoxoxo…

Sudah ya, langsung ke intinya saja. Cekidot!

Anak-Anak, Generasi Penerus Bangsa

Apa yang pertama muncul di benakmu ketika mendengar kata ‘anak-anak, generasi penerus bangsa?’ Hal utama yang muncul di benakku ketika mendengar kata itu adalah sekolah, rumah, dan jalanan. Dalam coretan kali ini, aku akan coba jabarkan ketiga poin tersebut, hm semoga tidak mengecewakan.

The first point is sekolah. Mengapa sekolah? Bukan karena basic aku sebagai pendidik ya, sedari dulu aku begitu punya ketertarikan atas pendidikan, bahkan jika kalian sudah pernah baca postingan aku ini https://bintangraina10.blogspot.com/2017/12/terima-kasih-diriku-di-bangku-3-sd.html kalian akan tahu bahwa ketertarikanku terhadap pendidikan bermula sejak aku 3 SD. Aku juga pernah membuat tugas essai tentang pendidikan dan dekadensi moral ketika SMA- sayangnya aku tidak punya arsip itu, sedih.

Lanjut ya, mengapa sekolah? Sebab menurutku sekolah merupakan salah satu tempat para generasi penerus bangsa berada. Sekolah itu tujuan, sekolah itu rumah, sekolah itu tempat pulang. Sekolah menjadi tempat belajar, bermain, dan bersosial yang paling dekat dengan masyarakat, baik itu sekolah formal maupun informal. Tapi yang aku maksud kali ini adalah sekolah formal mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan pendidikan yang setara dengan itu semua.

Bicara tentang sekolah, maka kita akan membayangkan anak-anak, siswa, dan guru. Sekolah merupakan tempat berlangsungnya pendidikan. Apa itu pendidikan? Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari definisi itu kita sadar dan setuju pada kalimatku di atas bahwa sekolah merupakan salah satu tempat para generasi penerus bangsa berada. Jadi, generasi penerus bangsa harus belajar, belajar agama, belajar sopan santun, belajar moral, belajar mengembangkan potensi dan bakat mereka di sekolah. Masalah proses belajarnya, fasilitas sekolahnya, dan serba-serbi yang ada di sekolah, itu berkaitan dengan teknis. Kali ini kita tidak membahas lebih dalam tentang hal tersebut.

The second point is rumah. Mengapa rumah berkaitan dengan generasi penerus bangsa? Bukankah pada poin pertama sudah di sebutkan bahwa sekolah adalah rumah? Mengapa di bahas lagi di poin ini? Well, sekolah sebagai rumah maksudnya adalah nilai-nilai kekeluargaan, persaudaraan, sopan santun, harga-menghargai, bisa kita temukan di sekolah. Nilai-nilai tersebut di ajarkan dan di terapkan di sekolah. Tapi rumah adalah tempat yang lebih hangat agar nilai-nilai tersebut muncul ke permukaan, termasuk nilai-nilai religius. Tidak cukup bagi seorang anak hanya belajar di sekolah.

Bukankah sering kita mendapati anak-anak kita dengan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolah? Apakah semua anak esoknya mengumpulkan PR itu? Bagi orang yang berhadapan langsung dengan anak-anak sepertiku maka, jawabannya tidak. Tidak semua anak mengerjakan PR mereka- bahkan dahulu kitapun seperti itu, tidak membuat PR. Baik dulu maupun sekarang, alasan klasik yang selalu di gunakan adalah lupa, ketinggalan, tidak sempat, bukunya hilang, atau bahkan membantu ibu di rumah?

Anak dalam masa sekolah tidak salah menolong ibunya di rumah, membantu mengerjakan tugas harian rumah. Tapi seharusnya itu adil bagi anak-anak ketika ada orang tua yang tidak mau menolong anaknya atas tugas sekolah mereka. Apa itu dapat di katakan adil? Maka aku jawab tidak.

Benar, tidak semua orang tua acuh terhadap anaknya, tidak semua orang tua merasa anaknya cukup belajar di sekolah (yang jelas-jelas pikiran seperti itu sangat salah, merasa anaknya cukup belajar di sekolah). Masih banyak orang tua yang memberi perhatian bagi anak-anak mereka, bertanya dan berkonsultasi dengan guru, terlebih melakukan pendekatan pribadi terhadap anak mereka. Orang tua yang selalu punya pertanyaan “bagaimana anakku tadi di sekolah?” merupakan orang tua yang baik menurutku. Dengan adanya perhatian dan pertolongan orang tua kepada anaknya di rumah, akan sangat membantu terwujudnya harapan-harapan yang ada pada poin pertama.

The third point is jalanan. What’s wrong with jalanan? Hm, jalanan adalah tempat ketika generasi penerus bangsa tadi tidak berada di sekolah maupun di rumah. Kebanyakan dari anak-anak berusia sekolah sampai anak-anak berusia produktif kerja yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah dan tidak mendapat perhatian cukup di rumah akan bersarang di jalanan. Berjualan koran, ngamen, sampai meminta-minta. Melihat ini, beragam faktor penyebabnya bermunculan. Ku rasa kalian sudah paham itu, aku tidak membahas detailnya kali ini. Hanya miris tiap-tiap melihat penampakan tersebut. Bahkan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka, miris, begitu ironi.

Dari ketiga poin di atas, apakah ada yang bingung dengan maksudnya? Jika ada, mohon koreksi, hahahah.
Poinnya adalah, hei nak, anak-anak, anak muda, pemuda, orang tua, dan kita semua, sekolahlah! Sekolahkan anak kita, sekolahkan diri kita. Belajarlah! tidak ada batasan usia untuk belajar. Positiflah, sebab apa yang kita pikirkan, itulah yang akan terjadi atas usaha-usaha positif kita. Jika sudah demikian maka potensi, bakat, kemampuan kita dan anak-anak kita untuk kemajuan bangsa ini, menjadi generasi penerus bangsa akan mudah terwujud. Insya Allah.

Ada beberapa usaha yang dapat kita lakukan sebagai generasi penerus bangsa, kita dedikasikan untuk bangsa ini setelah hal-hal dasar mengenai belajar tadi kita lakukan yaitu:
1. Awali semua dengan belajar agama. Nilai-nilai moral generasi bangsa bergantung bagaimana pendidikan agamanya.
2. Belajar bahasa. Mendalami dan mencintai bahasa Indonesia itu utama, melestarikan bahasa daerah itu harus, dan mempelajari bahasa asing itu perlu.
3. Berkaryalah. Hentikan bicaramu kalau melangkah saja tidak mampu. Intinnya kerja nyata.


Demikian saja yang dapat saya sampaikan kali ini. Moon maap banyak salah.

24 Juni 2018

Berhentilah!



Sebab hidup adalah pilihan maka pilihlah yang terbaik untuk hidupmu.
Sebab hidup adalah pencarian maka carilah apa yang terbaik untuk hidupmu.
Jangan lupa sertakan Dia dalam tiap pilihan dan pencarianmu.

Maka ketika engkau telah memutuskan untuk memilih, berhentilah untuk mencari. Kita manusia, tak akan puas dengan apa yang ada di atas kita. Kita manusia tak akan pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Berhentilah mencari dan buatlah adil pada pilihanmu.

Bukankah begitu lucu ketika diri meminta untuk mendapat yang terbaik dari yang terbaik yang ada di kehidupan ini sedang diri tidak berusaha memperbaiki apa yang ada dalam diri kita. Itu tidak adil. Maka ketika engkau telah memutuskan untuk memilih, berhentilah untuk mencari.

Aku rasa usia kita kini telah memberi beberapa jawaban supaya kita berhenti untuk bermain-main. Maka pintalah padaNya, kelak pilihanmu tidak akan membuat jeda antara engkau dan Rabbmu. Pintalah padaNya supaya pilihanmu adalah dia yang kini, pun kelak akan terus belajar bersamamu, belajar untuk kebaikan bagi dunia fana dan akhirat kekal.

Jangan terkotak-kotak dalam balutan cinta yang sebenarnya hanyalah napsu. Sebab usia kita kini telah memberi beberapa jawaban supaya kita berhenti untuk bermain-main.


@drainaaa

13 Mei 2018

Kepada Pembuat Rindu

Kepadamu, duhai pembuat rindu
Entah berapa banyak kata telah kusampaikan padamu
Bermakna sama, masih tentangmu.

Ini tak akan ada habisnya
Sebab bahkan jeda masih sama:
Kita dan ribuan mil spasi,
aku dan dirimu,
Langit dan lautan yang membiru
Dinding udara yang menyerbu,
Dingin.

Dalam jarak itu
Pun dalam dingin itu.
Aku berdiri pada tiap-tiap ketidakpastian
yang selalu aku yakini bahwa
engkau adalah kau, yang terlalu indah
untuk sekedar kurindu.
Sungguh aku hanya berdosa saat mengingatmu.
Maka pada tiap-tiap ketidakpastian yang selalu aku yakini,
Aku memberanikan diri, menyebutmu
dalam genggaman doaku.
Kelak sebab yakinku, engkau kan datang pada pangkuku,
duhai pembuat rindu.

28 April 2018

Bahkan Terlalu Berharga

Aku tidak tahu mengapa diri
mudah larut dalam haru

Ini tentang kegemaranku
Ya, aku gemar sekali
Mengungkapkan perasaan
Lewat sebuah coretan

Aku pernah bertemu dengan beberapa orang
Memiliki rasa yang spesial pada mereka
Pernah menangis sekaligus tertawa
Bersama mereka.
Aku pernah.

Banyak yang sudah aku temui
Banyak yang aku pelajari
Tidak mengapa jika kamu berpikir
Aku bukan orang yang baik,
Karena memang begitulah adanya.

Kini, aku bertemu denganmu
dalam keadaan terburukku
Sungguh, apa yang kamu pikir tentangku saat ini
Aku terima,
Sebab sadar diri bukan makhluk
yang sempurna.

Ah, aku terlalu banyak bicara.
Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan
Betapa diri berterima kasih pada
pertemuan yang kita lalui
Itu banyak memberiku pelajaran yang
begitu berharga.
Bahkan, betapa berharganya itu
Aku tidak bisa untuk menuliskannya.
Terima kasih, kamu telah berhasil mengisi hatiku.

Kamu berhasil membuatku lupa betapa
payah ku pungut puing-puing hati yang kecewa.

Bahkan ini terlalu spesial, sebab
Kita tetap berdiri pada koridor masing-masing
Sesekali melantunkan salam, berkirim kabar.
Namun belakangan, aku percaya kamu selalu
mengingatku pada tiap-tiap perjumpaanmu pada
Sang Pemilik Hati kita
Kelak akupun begitu.

Bahkan terlalu berharga, sebab itu kamu.

17 April 2018

Perasaan, Oh!

Sahabat, berapa usiamu?
Ah! Ada yang bilang usia tidak menjamin kedewasaan seseorang.
Meski kini engkau masih merasa muda, ketahuilah tidak ada salahnya untuk beranjak dewasa, beranjak dari pikiran-pikiran muda. Perlahan, mari belajar memantapkan diri pada pikiran-pikiran yang logis, sedikit bermain perasaan.

Duh, bicara mengenai perasaan sungguh itu hal yang rumit bukan?
Seseharinya, kita tak bisa enyah sedetikpun memikirkan perasaan diri. Apalagi menyangkut perasaan dua insan.

Sahabat, benarkah engkau jatuh cinta?
Bahkan aku merona saat mendengar kabar itu. Tidak apa, tidak ada salahnya dengan jatuh cinta. Tapi memang, semakin usia bertambah ada segenap norma yang dulu tidak ku tahu dan kini baru kusadari dan sejatinya harus kita terapkan.

Dalam urusan cinta, sungguh ada sebuah cara nan betul pun benar. Tidak sembarang cara, tidak sembarang waktu, yang pasti tidak sembarang orang bisa mengungkapkannya dengan mudah.

Sahabat, bagiku sebuah rasa yang kita sebut cinta adalah sebuah perasaan suci yang mahal. Jika dengan mudahnya seseorang ungkapkan cintanya, seolah dia ingin hidup denganmu, namun sungguh dia tak berdaya mewujudkannya, bukankah benar itu hanya bualan. Segumpal fitrah yang dipenuhi napsu belaka. Bukankah dia hanya mengobral sesuatu yang kita sebut mahal tadi? Duh, bagaimana mungkin suatu benda yang mahal bisa jadi obral? Itu karena nilai benda tersebut turun, atau mungkin sedikit yang berminat padanya, bukan? Bukankah demikian?

Sahabat, sekali lagi aku ingin sampaikan bahwa cinta adalah fitrah manusia yang suci, lagi mahal. Jika ada orang dengan mudahnya mengungkapkan cinta, bukankah engkau tau seberapa nilai dari perasaannya itu? 

16 April 2018

Setitik Rasa

Sudah berapa kali rasa seperti ini mampir pada hati rapuh yang engkau kuat-kuatkan?
Sekali kah? Dua? Tiga?
Ku rasa engkau lebih tau itu.

Pun bagaimana rasanya, bagaimana caranya, bagaimana jalannya.
Bukankah itu berulang, lagi, dan lagi.
Berhentilah mencoba untuk mengiyakan setiap rasa yang sejatinya adalah salah.

Engkau tak pernah belajar, engkau harusnya belajar.
Bukan satu-dua kali saja ini terjadi.
Seharusnya engkau lebih paham bagaimana ini seharusnya terjadi. Tiap-tiap rasa yang menikammu, baik itu yang kau sebut suka, sayang, peduli, khawatir bukankah selalu berakhir pada kecewa?  Ya, selalu seperti itu.

Engkau harusnya belajar, sejatinya yang harus engkau lakukan adalah bukan membesarkan "setitik rasa" yang kau anggap spesial sendiri. Cobalah persiapkan dirimu saja. Persiapkan bagaimana kelak jika ternyata ada yang lebih spesial datang padamu membawa "sejumlah rasa" yang lebih besar dari "setitik rasa" itu, yang kelak akan benar spesial bagi kalian.

Persiapkan dirimu saja. Usah berdrama dengan delusimu sendiri, usah sibuk dengan delusimu sendiri yang semakin membuatmu rapuh.

Usah sekali lagi mencoba pada orang-orang baru jika jalanmu salah. Persiapkan dirimu, perbaiki diri. Kelak Allah dengan segala Maha Penyayangnya menunjukkan tiap-tiap janjinya. Usah risau, percayalah.

4 April 2018

Maka Ada

Maka ada tong kosong nyaring bunyinya,
Maka ada diam adalah emas,
Maka ada malu bertanya sesat di jalan.

Jika memang tidak tau, bertanyalah. Jika tak ingin bertanya, usah berasumsi tambah itu berbau benci.
Usah kotori makna sastra dalam balut suara lembut, berintonasi benci.
Usah bangun gagas SARA dalam larik-larik puisi.
Usah caci agama kami hanya demi menyulut tensi.

Duhai,
Indonesia cukup dipenuhi penduduk berpikir, usah ajari kami, tambah itu berlandasan ketidaktahuanmu.
Sulut benci, caci kami. Tapi jangan tuduh hijab kami. Jangan tuduh adzan kami.

Sulut benci, caci kami
Maka ada, tong kosong nyaring berbunyi.

@drainaaa

6 Desember 2017

Pada Suatu Hari Nanti


Pada Suatu Hari Nanti
Sapardi Djoko Damono

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan ku relakan sendiri

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap ku siasati

Pada suatu hari nanti
Impianku tak di kenal lagi
Namun disela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya ku cari. 

Hanya Manusia



Terima kasih, mungkin aku yang terlalu mudah untuk berharap. Kita masih belum tau akan di bawa ke mana langkah ini. Namun, ternyata hatiku memang terlalu mudah untuk berharap. Satu-satunya yang aku harapkan adalah keluar dari setiap bayangan masa lalu, keluar dari setiap rasa sakit karenanya. Tapi hati tiada yang tau, meski sulit sekali untuk memulai itu, perlahan ada setitik harapan dalam diri, pada langkah yang belum pasti tujuannya. 
Ini sebab hadirnya dirimu, yang perlahan mampu membuatku untuk tidak mengingat masa lalu, tidak memikirkan setiap rasa sakit itu, hingga aku benar-benar lupa. Kamu telah berhasil, sebenarnya. Namun, terlalu banyak takut dalam diri yang mudah berharap ini. Jika itu terjadi, aku tidak akan membiarkan diriku terjerembab pada kesalahan yang sama, lagi dan lagi. Tak ingin memulai untuk kecewa lagi, pada orang yang berbeda. Aku tidak pernah mengharapkan adanya kekecewaan lagi. Mungkin benar, jarak adalah sebaik-baik hal yang harus ada di antara kita. Sebab kita masih belum tau mau di bawa ke mana langkah ini. Aku pun belum memutuskan untuk berjalan bersamamu. Aku hanya takut pada hati yang mudah berharap, takut pada kekecewaan.
Aku tidak pernah lupa, diri ini hanya manusia biasa. Bukan jaringan komputer, yang dapat bekerja secara on-off setiap kali ingin. Aku tidak bisa mengendalikan hati untuk berharap, aku tidak bisa mengendalikan setiap rasa kecewa yang akan datang.
Sedikit 'pencegahan' adalah hal yang harus selalu ada pada diri. Aku percaya bahwa Allah Maha Membolak-balikan hati. Aku percaya, tiada yang patut menjadi tempat berharap selain Allah. Namun, aku tidak pernah lupa, bahwa diri ini hanya manusia biasa.


Palembang pagi yang basah, 6 Desember 2017.

4 Desember 2017

Suara Guru

Ini foto saat beliau membacakan Suara Guru pada acara pelepasan siswa SMAN 21 Palembang, pada tahun 2016.

Ini foto beliau bersama istri, romantis yaaa?


Mendengarkan pertama kali puisi ini di bacakan oleh Ayahanda kami, oleh guru kami pada acara pelepasan siswa SMA N 21 Palembang pada tahun 2016 sungguh menggugah hati saya. Bagaimana tidak, beliau adalah benar-benar figur yang menjadi panutan kami, bagaimana menjadi seorang guru yang seharusnya. Mengenal beliau pada tahun 2009, bangga pernah di didik beliau, bangga menjadi murid beliau. Meski pertemuan itu hanya tiga tahun saja, namun apa yang beliau ajarkan tertanam dan teringat dalam hati, membumbung tinggi hingga sanubari. Beliau, meski pada masa pensiunnya tetap menjadi seseorang yang menginspirasi saya, menginspirasi setiap anak didiknya, menginspirasi kami. Beliau mengajarkan kami ilmu dunia, mengingatkan kami tentang akhirat, yang pasti menjadi tauladan bagi anak didiknya, bagi guru-guru lain dan calon-calon guru tentang bagaimana berlaku dengan hati, ikhlas tanpa pamrih tanpa mengurangi profesionalitas diri. Semoga apa yang Bapak ajarkan menjadi amal jariyah bagi Bapak. Aamiin, Allahuma aamiin. Terima kasih, atas semua jasamu, Ayahanda kami, Hermanto, S.Pd.

Penasaran sama puisi beliau? Ini nih sudah saya pinta dari beliau langsung melalui aplikasi Facebook, cekidot...

SUARA GURU
Karya:
Hermanto, S.Pd

Kepada pengabdi negeri
Mataram, 10111986

Suara guru adalah benih yang ditabur
kemudian menghambur
menghablur padat abstraksi amanat
mengkristal pecah serpih-serpih upaya:
Menganakkan bayi, bukan membayikan anak
Mendewasakan anak, bukan menganakkan dewasa
Mengembangkan undur, bukan mengundurkan kembang
Mematangkan mentah, bukan mementahkan matang
Menjernihkan keruh, bukan mengeruhkan jernih
Suara guru jangan menggema
membalik arah menikam jiwa yang menjala
Suara guru hendaknya kedap
mengendap dalam menyubur jiwa yang menjala
menumbuh kembang ujud upaya
cipta
rasa
karsa
terpadu dalam trimatra kehidupan.

Beliau juga berpesan dalam postingannya itu:
Semoga suara guru ini tertangkap oleh anak-anak didik bapak yang hendak meniti titian serupa sebagai generasi pelanjut yang amanah.